Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 6)
Melanjutkan pembahasan sebelumnya, yakni berkaitan dengan sewa menyewa jasa atau pekerjaan dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Lebih mudahnya, pembahasan ini bisa menggunakan kata tanya “Untuk siapakah jasa ini diperuntukkan? Apakah bisa untuk semua orang? Atau diperuntukkan jasanya hanya secara khusus saja?” dari poin dan pertanyaan ini ada beberapa ahkam dan masa’il yang dibahas oleh para ulama.
Yang mana sewa menyewa jika dilihat dari tujuan penggunaan jasa terbagi menjadi dua: [1]
Pertama: Sewa menyewa yang bersifat khusus.
Kedua: Sewa menyewa yang bersifat umum.
Dan tulisan kali ini akan lebih mengerucut kepada pembahasan di poin pertama.
Sewa menyewa yang bersifat khusus
Maksudnya adalah pihak penyedia jasa (mu’jir) hanya bekerja khusus untuk pengguna jasanya (musta’jir) saja, seperti pembantu rumah, karyawan, dan lainnya. Atau penyedia jasa hanya mengerjakan pekerjaan tertentu, seperti memperbaiki listrik, air di rumahnya, dan lain sebagainya.
Pada akad ini, pekerja atau penyedia jasa sifatnya hanya khusus untuk bekerja kepada yang menyewanya saja. Tidak bisa kepada yang lainnya, mengingat bentuk jasa atau pekerjaannya hanya bisa diberikan khusus kepada penyewa jasanya. Beda halnya nanti dengan sewa menyewa yang bersifat umum.
Tentunya pada sewa menyewa secara khusus ini terdapat beberapa ketentuan-ketentuan yang harus diketahui.
Pertama: Pada hal ini (penyedia jasa) atau yang bisa dikatakan sebagai pekerja, bekerja pada pekerjaan dan waktu yang telah ditentukan. Di awal akad, harus jelas tentang waktu pekerjaan yang harus diselesaikan.
Mudahnya, seseorang menyewa pekerja dengan menentukan target selesainya perbaikan rumah sekitar satu bulan lamanya. Karena, manfaat yang didapatkan oleh pihak penyewa tidak akan diperoleh, kecuali dengan menentukan waktu tersebut. Dan dalam menentukan waktu, harus disesuaikan dengan kemampuan pekerja tidak serta merta ditentukan oleh satu pihak saja, harus dilihat dari jumlah pekerja, material yang digunakan, dan cuaca pada waktu itu. Hal ini tentunya hanya dapat dikira-kira sesuai dengan dugaan kuat, sampai berapa lama pekerja bisa menyelesaikan suatu pekerjaan tersebut.
Pada keadaan ini, pekerja berhak untuk mendapatkan upahnya pada waktu yang telah ditentukan selesai. Karena manfaat yang diberikan telah diperoleh oleh pihak penyewa jasanya. Sehingga, tidak boleh bagi penyewa jasa mengulur-ngulur waktu bahkan melewati batas kesepakatan akad awal. Karena ini merupakan sebuah tindakan kezaliman. Ingatlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah)
Dan ingatlah! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua: Terkadang, akad yang berlangsung antara penyewa dan pekerja ada pada pekerjaannya yang harus diselesaikan.
Mudahnya, seperti menyewa pekerja yang dapat memperbaiki listrik beserta perkabelannya. Di sini telah jelas akad akan terus berlangsung sampai pekerjaannya selesai, selama pekerjaannya belum selesai, selama itu pula pekerjaan masih harus terus berlangsung.
Pada keadaan ini, pekerja berhak untuk mendapatkan upahnya secara utuh ketika ia sudah selesai menyelesaikan pekerjaan yang telah disepakati bersama di awal akad.
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, jika pekerja hanya mengerjakan sebagian pekerjaannya saja kemudian berhenti. Yang lebih rajih, ia hanya berhak menerima sesuai dengan akhir pekerjaannya. Jika baru setengah yang dikerjakan, maka upahnya hanya diberikan setengah. Demikian pendapat jumhur dan yang dipilih oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. [2]. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرً۬ا يَرَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah : 7)
Ringkasnya, dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwasanya akad pada sewa menyewa jasa yang bersifat khusus ada dua hal yang harus diperhatikan dalam akadnya. Yaitu, terkait dengan pekerjaan dan waktu.
Silakan untuk kedua belah pihak menyepakati dan memberikan target pekerjaan yang harus diselesaikan, dan sampai mana pekerjaan itu harus selesai.
Contohnya:
A menggunakan jasa B untuk membangun rumah. A dan B bersepakat agar rumah ini dapat diselesaikan dengan kriteria seperti ini dan seperti itu. A melihat kira-kira B dapat melakukannya sekitar satu bulan dengan upah sekitar Rp10.000.000,- dan biaya material sekitar Rp.50.000.000,-. Untuk seluruh biaya dibayar di awal.
Pada contoh ini sangat jelas sekali akad yang dilakukan kedua belah pihak,
Kriteria pekerjaannya harus seperti apa, waktunya, biayanya yang dibayar di awal. Jika biaya yang disepakati di akhir, maka janganlah pihak penyewa menunda-nudanya.
Ketentuan akad seperti ini sangatlah penting, agar tidak terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak di tengah-tengah akad sewa menyewa. Karenanya terdapat sebuah perkataan yang bagus, dinisbatkan kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
مَقَاطِعُ الْحُقُوقِ عِنْدَ الشُّرُوطِ
“Pemenuhan hak ditentukan oleh syarat-syarat yang disepakati.”
Artinya, dalam masalah muamalah sangat erat kaitannya dengan syarat di awal akad. Agar tidak ada yang dizalimi dan merasa dizalimi. Seringkali kedua hal itu terjadi karena akadnya yang tidak jelas, abstrak dan masih ngambang. Sehingga seluruh pihak menuntut haknya yang belum tentu itu adalah sebuah kebenaran. Maka, ingatlah baik-baik kaidah yang diberikan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu.
***
Depok, 20 Jumadilakhir 1446 H / 22 Desember 2024 M
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel asli: https://muslim.or.id/102066-fikih-transaksi-ijarah-sewa-menyewa-bag-6.html